Jakarta, Pekan lalu saya berlibur bersama keluarga ke kampung halaman. Banyak cerita dan pelajaran hidup yang bisa saya petik. Salah satunya tentang perjalanan hidup dua keluarga yang berbeda. Keluarga Kusnin dan keluarga Bejo. Saya mengenal mereka tiga puluh tahun lebih. Dua keluarga ini sama-sama memiliki 4 orang anak yang usianya hampir sebaya. Namun kehidupan sosial ekonomi mereka jauh berbeda.
Keluaga Kusnin kehidupannya amat melarat. Mereka tinggal di tengah hutan, dinding rumahnya terbuat dari bambu, atapnya dari ilalang. Agar aman dari ganguan binatang buas, rumahnya dibuat panggung. Sebagai petani yang tidak memiliki lahan, Kusnin mengolah tanah kosong yang tidak digarap pemiliknya.
Sementara keluarga Bejo memiliki rumah yang megah. Bejo memiliki tanah dan kebun karet serta kopi yang luas. Hasil kebun karet dan kopi serta tanaman lainnya menjadikan mereka keluarga kaya di kampung halaman saya. Orang-orang di kampung sangat menghormati keluarga ini. Sayapun termasuk yang pernah berpikir ”nanti kalau besar saya ingin kaya raya seperti mereka.”
Cara pendidikan kedua keluarga ini amat berbeda. Keluarga Kusnin mewajibkan anak-anaknya megaji selepas Maghrib hingga sholat Isya tiba. Secara bergantian pak Kusnin dan istriya mengajar ngaji empat buah hati mereka. Setelah sholat Isya dan Subuh adalah waktu wajib belajar buat anak-anak. Wajar dengan disiplin yang ketat ini bila ke empat putra-putri pak Kusnin langganan menjadi juara kelas.
Walau miskin papa, Pak Kusnin selalu mengatakan kepada putra-putrinya ”kita boleh miskin harta tapi tidak boleh miskin ilmu. Karena kalau nanti hanya punya harta maka kita akan sibuk menjaga harta itu. Tapi kalau kita punya ilmu, maka ilmu yang akan menjaga kehidupan kita.” Maka walau harus berulangkali memenuhi panggilan sekolah karena empat anaknya terlambat membayar SPP, pak Kusnin tetap memotivasi dan mendorong terus anaknya agar terus bersekolah.
Sementara Bejo membiarkan putra putrinya tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Berbagai fasilitas yang meningkatkan gengsi diberikan oleh Pak Bejo kepada 4 anaknya. Dari busana dan asesorisnya, kalung, sepeda motor, dan semua yang menimbulkan kesan gemerlap dimiliki oleh keempat darah dagingnya.
Setelah tiga puluh tahun, anak pertama pak Kusnin sekarang menjadi kepala sekolah. Anak ke dua menjadi seorang konsultan dan dosen pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi di jawa. Putra ke tiga menjadi guru dan dai wanita di Lampung. Putra ke empat kini menjadi pegawai Departemen Agama. Kini, Pak Kusninpun menjadi tokoh masyarakat dan suri tauladan di kampung halaman saya.
Sementara putra-putri Pak Bejo tak ada satupun yang ”jadi”. Dua putranya hanya lulus Sekolah Dasar dan dua putrinya hanya mampu menyelesaikan hingga Sekolah Menengah Pertama. Dua putrinya menjadi janda dan hidupnya terlunta. Kedua putranya saat ini mendekam di penjara. Ironisnya, tanah dan kebun pak Bejo juga telah berpindah tangan ke orang lain.
Pak Kusnin merasa bahwa kehidupannya berubah karena dia selalu mendorong agar anaknya selalu sekolah. Sesulit dan seberat apapun, Pak Kusnin tetap memprioritaskan sekolah. Bahkan, Pak Kusnin sering meminjam kepada pak Bejo untuk biaya sekolah putra-putrinya.
Ketika saya bertemu pak Kusnin pekan lalu dia sedang menangis. Butiran bening mengalir di pipi karena dia mendengar berita di televisi bahwa banyak yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena kemiskinan orang tuanya. ”Nasib keluarga kami berubah karena sekolah, orang miskin akan bertambah miskin bila dia berhenti sekolah. Bagaimana mungkin orang miskin akan berkurang kalau untuk sekolah saja mereka sudah tak bisa. Kalau mau mengubah nasib orang miskin jangan ”haramkan” dia pergi ke sekolah.
Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Inspirator Sukses Mulia, Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.
Sabtu, 18 April 2009
Belajar Dari Pak Kusnin dan Pak Bejo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar